Alkisah di sebuah sekolah dasar, tercatatlah seorang siswa kelas satu.
Sebut namanya Bakar. Ia anak konglomerat ternama. Bukan cuma bapaknya
yang pedagang besar. Kakek moyangnya pun demikian. Mereka adalah rezim
saudagar terkenal sejak era abad pertengahan. Ketika Pires berkata,
”Tuhan menciptakan Timor untuk pala, Banda untuk lada, dan Maluku untuk
cengkih”, di sanalah kakek moyang Bakar berperan.
Bakar masih menikmati warisan kebesaran itu. Ia bersekolah di SD unggulan berstandar internasional dan bilingual, sekitar 2 kilometer dari rumah (mobil senilai Rp 1 miliar yang ia pakai hanya mencatatkan perjalanan 4 kilometer setiap hari).
Seorang sopir dan ”baby sitter” mengantar dan menungguinya setiap hari saat ia belajar. Layaknya sekolah mahal dan unggulan lainnya, mengarang adalah pelajaran yang diposisikan amat penting di SD tersebut. Anak-anak didik, sejak kelas satu, sudah dilatih untuk mengekspresikan isi kepala mereka dengan kata-kata yang tertata baik, namun dengan isi yang mencerminkan kebebasan pikiran.
Sampailah, suatu ketika, sang guru meminta siswa kelas I membuat karangan tentang kehidupan keluarga yang sangat miskin di seberang benteng sekolah. Sang guru, yang berasal dari keluarga menengah, berharap dapat menumbuhkan empati anak-anak didiknya yang serba berada terhadap nasib kelompok lain yang tak berpunya.
Bakar masih kelas satu SD. Tapi, ia penulis yang andal. Ia sefasih bapaknya saat harus melontarkan kata-kata. Ia pun secerdas ibunya saat harus membuat itung-hitungan dan perbandingan.
Ia menulis, seperti saran gurunya, dengan penuh perasaan. ”Menulislah dengan hati,” begitu kata-kata sang guru yang selalu ia ingat. Lalu, dengan sesekali menerawang dan membayangkan kehidupan keluarga miskin, Bakar menggoreskan pinsilnya dengan huruf-huruf yang belum sempurna benar. Ia menamai tokoh dalam karangannya sebagai
Bakar masih menikmati warisan kebesaran itu. Ia bersekolah di SD unggulan berstandar internasional dan bilingual, sekitar 2 kilometer dari rumah (mobil senilai Rp 1 miliar yang ia pakai hanya mencatatkan perjalanan 4 kilometer setiap hari).
Seorang sopir dan ”baby sitter” mengantar dan menungguinya setiap hari saat ia belajar. Layaknya sekolah mahal dan unggulan lainnya, mengarang adalah pelajaran yang diposisikan amat penting di SD tersebut. Anak-anak didik, sejak kelas satu, sudah dilatih untuk mengekspresikan isi kepala mereka dengan kata-kata yang tertata baik, namun dengan isi yang mencerminkan kebebasan pikiran.
Sampailah, suatu ketika, sang guru meminta siswa kelas I membuat karangan tentang kehidupan keluarga yang sangat miskin di seberang benteng sekolah. Sang guru, yang berasal dari keluarga menengah, berharap dapat menumbuhkan empati anak-anak didiknya yang serba berada terhadap nasib kelompok lain yang tak berpunya.
Bakar masih kelas satu SD. Tapi, ia penulis yang andal. Ia sefasih bapaknya saat harus melontarkan kata-kata. Ia pun secerdas ibunya saat harus membuat itung-hitungan dan perbandingan.
Ia menulis, seperti saran gurunya, dengan penuh perasaan. ”Menulislah dengan hati,” begitu kata-kata sang guru yang selalu ia ingat. Lalu, dengan sesekali menerawang dan membayangkan kehidupan keluarga miskin, Bakar menggoreskan pinsilnya dengan huruf-huruf yang belum sempurna benar. Ia menamai tokoh dalam karangannya sebagai